Sepak Bola Jadi Kebanggaan Untuk Negara Di Dunia – Piala Dunia tetap memikat mata dan hati kita. Terkecuali buat orang berhimpun padu, Piala Dunia buat dunia tertuju kepadanya. Perhelatan sepakbola terakbar di dunia itu jadi arena paling bergengsi. Sepakbola sanggup jadi kebanggaan sendiri untuk negara-negara di dunia ini. Ia tak cuman pertaruhan di lapangan, namun juga diluar lapangan.
Dalam garis khusus, ia meluluhlantakkan batas teritorial juga. Seorang fans pemain sepakbola, belum pasti fans tim negara yang berlaga, atau demikian sebaliknya. Di Piala Dunia, tak cuman pertaruhan harga diri negara, namun juga supporter, semangat, dan aksi para pendukung jadi sorotan dunia.
Di persaingan menuju perempat final umpamanya, kita disajikan fenomena unik sekaligus juga berlebihan. Seorang pendukung Messi bunuh diri saat lihat tim Argentina kalah. Ia belumlah sempat lihat Argentina lolos ke tahap seterusnya, walaupun mesti tersingkir dan tak masuk perempat final. Argentina mesti terima kekalahan melawan Prancis dengan selisih tidak tebal 4-3.
Bunuh diri dari seorang warga India itu jadi peristiwa yang menerobos batas-batas negara. Sepakbola menerobos batas-batas itu. Kekaguman dan decak seorang fans sanggup saat dramatis. Fenomena itu buat kita maka mahfum, sepakbola seperti mendekatkan saat jauh jarak. Ia sanggup melekatkan kedua-duanya pada sebuah area bernama stadion.
Terkecuali aksi dari fans yang saat berlebihan, kita juga disajikan begitu arena Piala Dunia jadi pertaruhan sengit pada harga diri tuan rumah dan harga diri negara. Rusia terkecuali menyambut warga dari seantero dunia dengan baik, Vladimir Putin juga membuktikan sebagai tuan rumah yang profesional dan ramah untuk dunia. Rusia juga ditantang untuk laju ke perempat final. Sebagai tuan rumah, pasti Rusia tak pengen memikul malu untuk ” pulang ” duluan. Dan, hingga saat ini, Rusia masih membuktikan tekadnya dari semangat supporter dan pemainnya.
Ujian Kelebihan Bangsa
George Orwell sempat menulis perkara sepakbola ini dalam sesuatu esainya : Di level internasional, olah-raga merupakan cerminan peperangan. Namun, hal yang paling bermakna tidaklah tingkah laku pemain, namun sikap pemirsa. Dan, terkecuali sikap pemirsa, sikap bangsa yang menjerit-jerit kegirangan cuma karena kontes olah-raga yang, jujur saja, absurd, dan betul-betul mengakui –selama sekian hari, paling tidak– kalau berlari-lari, melompat-lompat, dan menendang bola kesana kemari merupakan sebuah ujian untuk kelebihan bangsa.
Apa yang ” tidak (sanggup) di terima ” untuk Orwell, tetap berjalan hingga saat ini. Piala Dunia akan memberikan ujian di lapangan ataupun luar lapangan. Teriakan supporter, gengsi sebuah bangsa, dan pertaruhan menang atau kalah berada pada sana. Kita sanggup turut menangis saat Messi tertunduk, dan ribuan supporter Argentina di belahan dunia mana lantas pada sebuah waktu menundukkan kepala untuk kekalahan Argentina.
Apa yang di alami oleh Argentina juga di alami oleh Jerman yang perlu bertekuk lutut pada Korea Selatan, salah satu negara Asia yang dapat mengalahkan juara bertahan di Piala Dunia tahun ini. Pasti ini jadi sejenis kebanggaan sendiri untuk negara Asia melawan klub besar Eropa. Kita tahu, pelatih ataupun pemain, apalagi pemirsa German jadi sangatlah sedih saat mesti lihat tim yang paling disayangi mereka gagal dan kalah.
Namun, ada yang menarik di arena Piala Dunia tahun ini. Walaupun kalah dan gagal maju di perempat final, Jepang dan Senegal saling bersama bersihkan stadion. Para supporter dan para pemain membuktikan negara mereka walaupun kalah, tetap memelihara etos dan rutinitas di negara mereka. Jepang dan Senegal tak meninggalkan sampah, dan buat area rubah dan stadion bersih seperti semula.
Fenomena ini jadi sorotan dan viral di sosial media, dan gencar di beberapa berita internasional. Jepang sampai kini memang dikenal sebagai negara dengan etos yang tinggi dalam kerja. Diluar itu, Jepang sendiri di kenal juga sebagai negara yang bersih dan pintar mengelola sampah. Mereka di kenal juga sebagai negara yang menancapkan sejak dini perkara kebersihan.
Apa yang dilakukan oleh Jepang dan Senegal pasti jadi tambah memberikan keyakinan mereka kalau mereka sebenarnya juara diluar lapangan juga. Untuk Senegal, piala dunia kesempatan ini walaupun belum membawa mereka ke perempat final, mereka membuktikan bukanlah tim yang sepele temeh di benua Afrika. Mereka dapat membuktikan di lapangan kalau negara Afrika juga dapat bermain bola dengan cantik dan sportif. Yang paling mengharukan pasti melihat para supporter dan pemirsa Jepang memungut sampah sambil meneteskan air mata. Walaupun kalah, mereka tidak meninggalkan etos dan budaya mereka menyintai kebersihan.
Apa yang dilakukan oleh Jepang di Piala Dunia ini merupakan sisi dari rutinitas yang di bangun bertahun-tahun bahkan ribuan tahun untuk membuat karakter negara yang kuat dan berbudaya. Kita, Indonesia, sanggup belajar dari sikap Jepang ini, sebagai modal atau bekal untuk mencanangkan diri sebagai tim ataupun supporter yang beradab. Dan, hal ini pasti perlu system yang cukup panjang.