Kebenaran Mulai Terkuak Masalah Pemerkosaan Mahasiswi UGM – Mahasiswi UGM korban perkiraan perkosaan lewat kuasa hukum serta pendampingnya ialah LSM Rifka Annisa pada akhirnya mulai bicara. Satu diantaranya bab perjuangan korban mencari keadilan sejak mulai tahun 2017.
Direktur Rifka Annisa, Suharti, menuturkan pascadiperkosa di area KKN tanggal 30 Juni 2017 korban atau penyintas telah mengupayakan mencari keadilan. Di awali usaha penyintas terhubung service di Rifka Annisa pada tanggal 18 September 2017.
” Penyintas lewat cara pribadi terhubung service Rifka Annisa, serta menurut hasil assessment awal penyintas alami stres berat. Penyintas ikut terhubung service di UKP UGM, ” kata Suharti dalam jumpa wartawan kantornya Jalan Jambon IV, Yogyakarta Yogyakarta, Kamis (10/1/2019) .
Jelas mendapatkan nilai C di program KKN, penyintas sejak mulai bulan Oktober 2017 bertarung memulihkan nilainya. Sesudah itu penyintas didampingi Rifka Annisa berjumpa dengan perwakilan rektorat tanggal 7 Februari 2018.
” Kami ikut berjumpa dengan perwakilan Fisipol, Direktorat Dedikasi pada Penduduk (DPkM) UGM buat diminta info berkenaan moment kekerasan seksual yang dihadapi (penyintas) , ” papar Suharti.
Memberi respon hal itu UGM membuat team investigasi pada tanggal 20 April 2018. Team ini pada akhirnya dibubarkan sehabis menyerahkan laporan bersama-sama rekomendasinya pada rektor pada tanggal 20 Juli 2018.
Akan tetapi penyintas malahan mendapatkan berita aktor perkosaan, HS, akan mengadakan sidang pendadaran skripsi pada tanggal 6 Agustus 2018. Meski sebenarnya awal kalinya Rektor UGM menjanjikan nilai KKN HS akan ditahan hingga sampai masalah usai.
” Jelas hal tersebut penyintas berinisiatif menjumpai ketua team investigasi, serta baru dikasih tahu kalau team investigasi udah menyerahkan rekomendasinya ke Rektorat (UGM) pada tanggal 20 Juli 2018, ” jelasnya.
Usaha penyintas buat memulihkan nilai KKN-nya baru ditanggapi UGM pada tanggal 14 September 2018. Nilai KKN yang sebelumnya C lalu dirubah pihak UGM jadi A/B. Lalu pada awal November 2018 keluar laporan Balairung.
Laporan Tubuh Penerbitan serta Wartawan Mahasiswa (BPPM) Balairung berjudul ‘Nalar Pincang UGM atas Masalah Perkosaan’ yang diungggah di balairungpress. com jadi percakapan publik. Masalah ini pada akhirnya jadi sorotan penduduk.
Memberi respon bola liar ini, lanjut Suharti, Rektorat UGM mengundang penyintas pada tanggal 26 November 2018. Utamanya UGM mau memberi tahu kalau mereka udah membuat Komite Etik buat mengatasi perkosaan yang berlangsung.
Lalu penyintas diundang lewat cara lisan buat di tandatangani permintaan maaf oleh HS di Rektorat UGM pada tanggal 17 Desember 2018. Tetapi ide itu dihentikan lewat cara sepihak.
” Paling akhir periode kerja komite etik selesai tanggal 31 Desember 2018. Tetapi penyintas ataupun team pendamping belumlah mendapat salinan ketetapan serta rekomendasinya sampai sekarang, ” pungkas Suharti.
Korban memang tidak bersedia memberikan laporan masalah ini pada polisi. Ia cuma mengidamkan supaya UGM memberi sangsi etik pada tersangka aktor.
Disampaikannya, LSM Rifka Annisa bertindak sebagai pendamping korban ikut udah berjumpa dengan perwakilan Rektorat UGM. Sampai pada akhirnya mereka setuju tidak untuk membawa masalah perkosaan itu ke ranah hukum.
” Akan tetapi tanggal 18 November 2018 Polda Maluku mengontak Rifka Annisa serta menyampaikan kabar mengenai penyelidikan yang tengah berjalan. Polda Maluku lalu mendatangi Yogya serta mengecek penyintas tanggal 19 November sepanjang 12 jam, ” pungkasnya.
Akan tetapi pada perubahannya sekarang masalah ini udah masuk step penyelidikan Polda DIY. Bukan korban yang melapor tetapi Kepala Unit Keamanan serta Keselamatan Universitas (SKKK) UGM, Berbudi Nurcahyo. Berbudi dimaksud melapor tiada perjanjian serta konsultasi dengan penyintas.
Tindak lanjut dari laporan itu, Polda DIY menyebut korban. Korban penuhi panggilan itu, serta bersedia memberi info jadi saksi korban pada tanggal 18 Desember 2018. Akan tetapi korban menampik visum et repertum.
Penyintas menampik mengerjakan visum et repertum lantaran luka fisik telah hilang. Meski begitu korban ajukan permintaan buat mengerjakan visum et repertum psikiatrikum lantaran resiko psikologisnya masih tetap membekas.
Udi menjelaskan, walau korban tidak mendambakan kasusnya dibawa ke ranah hukum, tetapi sekarang korban akan tatap melawan proses hukum yang udah berjalan. Pihaknya lantas mengharap masalah ini tidak di stop penyidikannya.
” Penyintas, pendamping, serta team (kuasa) hukum akan tetaplah melawan proses hukum sampai selesai. Masalah ini mestinya tidak di stop penyidikannya (SP3) , lantaran akan memberi preseden jelek buat perlakuan masalah kekerasan seksual, ” tutupnya.
Suharti ikut mengutarakan UGM belumlah menjalankan semua saran team investigasi. Cuma saran mengenai perbaikan nilai KKN korban yang telah dikerjakan.
Sedang sejumlah saran yang belumlah dikerjakan UGM di antarnya yaitu oal pendampingan psikologi serta pembebasan cost kuliah korban.
Menurut dia, pihak UGM nampak tidak serius memfasilitasi pemulihan psikologis korban. Buktinya cost pendampingan psikologis penyintas sepanjang tahun 2017 dijamin Fisipol UGM.
Lalu hingga sampai tanggal 27 Desember 2018, penyintas ikut tetap harus menebus obat di dalam rumah sakit akademik (RSA) UGM lewat cara mandiri.
Tidak cuma ke penyintas, beberapa saran team investigasi buat aktor ikut belumlah dikerjakan. Salah satunya kewajiban aktor di tandatangani surat permintaan maaf serta penyesalan didepan rektor serta orangtua aktor.
” Lalu petunjuk berkenaan penundaan wisuda minimum sepanjang enam bulan buat aktor (dilanggar) . Tanggal 31 Oktober 2018 penyintas mendapatkan nama HS tercantum dalam lis calon wisudawan November 2018, ” tutupnya.
Dalam kesempatan berikut kuasa hukum korban, Catur Udi Handayani menjelaskan kalau ada enam tuntutan korban pada UGM serta polisi.
Pertama, korban mengharap penegak hukum mengerjakan masalah ini lewat cara adil serta selesai sampai ke meja hijau. Tuntutan ke dua, korban minta UGM penuhi hak penyintas atas info berkenaan usaha perlakuan yang telah dikerjakan UGM. Termasuk juga info tindak lanjut UGM atas saran team investigasi.
Ke-tiga, korban menuntut UGM buat lekas memberi perlindungan maksimum pada penyintas. Lantaran kesalahan kampus udah membuat perlakuan masalah berlarut-larut.
Udi meneruskan, korban ikut minta UGM lekas penuhi hak-hak penyintas atas pendampingan psikologis sampai sembuh. Ikut minta suport material UGM berwujud pembebasan cost kuliah.
” Ke-5, minta UGM memulihkan nama baik penyintas. Satu diantaranya mensyaratkan aktor di tandatangani surat permohonan maaf, serta penyesalan didepan rektor serta orangtua aktor, ” paparnya.
” Paling akhir kami minta UGM ikut menyudahi tabiat victim-blaming serta tendensi buat mengkriminalisasi penyintas yang dikerjakan oleh pihak mana saja, jadi konsekuensi laporan polisi Kepala SKKK UGM, ” tutup Udi.